Minggu, 12 Maret 2017

3 Cerpen Penuh Luka dan Menguras Air Mata


Antara Simbok, Mama, dan Papa

Anakku, masih duduk di TK. Suatu siang ia pulang dengan menangis. Aku tidak begitu memperhatikannya karena tangis anak-anak adalah dunia yang tek terpisahkan. Di jok boncengan sepedah ontelku ia tampak tidak mau bicara. Aku tersenyum saja. Ah, nanti dia toh akan berhenti sendiri dengan tangisannya. Mana mungkin dia betah nangis seharian.
Ketika sampai dirumah ia mogok makan. Istriku membujuknya dengan keras karena ia khawatir anakku akan jatuh sakit. Kalau anakku jatuh sakit, aku dan istrikulah jugalah yang akan kerepotan sendiri.
“Mengapa kamu menangis?” tanya istriku dengan cemas.
Anakku menggeleng. “Ayolah cerita sama simbok.” Anakku teguh dengan gelengan kepalanya.
“Kamu dimarahi guru?” aku nimbrung mencoba mencairkan kebisuannya. Bagaimanapun aku harus mengetahui bahwa hati kecilku ingin tahu apa yang menjadi persoalannya sehingga ia pulang sekolah sambil menangis.
Demi mendengar pertanyaanku anakku bertambah berguncang dadanya menahan tangis. Mungkin sekali ia merasa jengkel ketika sepanjang jalan ia tak kutanyai perihal penyebab tangisnya. Barangkali ia merasa tidak aku sayangi, tidak aku perhatikan sehingga rasa jengkel dan sakit hatinya terasa menumpuk di dada.
“Aku malu……., “ tiba-tiba ia berbicara dalam keterbataan.
“Lho, apa yang mesti membuatmu malu?””
“Lho, malu kan mesti ada sebabnya to, Nak?”
“Aku diejek.”
Aku tertawa. Istriku memberengut, matanya mendelik, tidak setuju dengan tertawaku.
“Bapak itu kok malah tertawa. Apa yang ditertawakan?” Istriku sewot.
“Lho Wong Cuma diejek saja kok menangis.”
“Lho anak kita kan masih kecil. Kalau dia diejek dan tidak kuat menanggung malu jelas dia akan menangis to, pak? Sakit hati!”
“Nak, kamu diejek bagaimana kok lantas menangis tanpa henti?”
“Aku diejek karena tidak punya ibu.”
“Huaaaa…..haaaaa….haaaa…..” sungguh aku terbahak-bahak mendengar penuturan anakku ini.
“Lho, lho, lho, aku ini apamu nak kalau bukan ibumu?” tanya istriku di sela suara tawaku,.
“Tidak. Aku tidak punya ibu. Hanya punya simbok!” anakkku berteriak. Air mata masih saja teburai-burai di permukaan pipinya yng tembem.
Aku tidak dapat menghentikan ketawaku. Istriku yang mendengar omongan anakku tersenyum kecut.
“Lho apa bedanya to, nak?”
“Simbok menurut teman-temanku adalah kampungan. Ndesa!”
“Ooooalaah Nak. Yang ndesa itu justru teman-temanku itu,” istriku membela diri. “apa teman-temanmu itu tahu artinya simbok? Mana mungkin mereka tahu! Bahkan orang tua mereka pun aku jamin tidak tahu artinya simbok. Anakku sayang, kamu harus tahu bahwa kata simbok memiliki arti yang sangat mulia, nak.”
“Tidak. Aku ingin memanggil simbok dengan Mama atau Mami. Aku tidak mau lagi memanggil Simbok dengan Simbok. Nanti dikata-katai sebagai bocah ndesa lagi.”
Kini aku menghentikan tertawaku. Nampaknya persoalan senutkan simbok dan mama ini manjadi persoalan yang gawat bagi anakku. Hal ini bisa menggangu eksistensinya di sekolah. Bisa memengaruhi rasa percaya dirinya. Kalau hal ini dibiarkan bagitu saja tidak mustahil akan membuat presentasi sekolahnya jeblok atau bahkan ia akan mogok sekolah.
“Ketahuilah Nak, sebutkan simbok memiliki arti yang dalam, bukan main-main.” Aku turut menandaskan apa yang dikatakan istriku dengan wajah yang kubuat serius. Anakku menghapus sisa air mata di sudut-sudut matanya. Wajahnya juga serius memperhatikanku. “Simbok itu memiliki makna sebagai orang yang suka tombok. Tombok itu artinya menutup kekurangan, melunasi, dan membuat sempurna. Contohnya kalau bapakmu ini sedang tidak punya uang untuk belanja, simbok itulah yng akan menomboki. Jika bajumu robek, maka simbokmu inilah yang akan tombok dengan waktu, waktu, tenaga, dan biaya untuk membuat bajumu utuh kembali. Demikian juga dengan hal-hal lainnya.
Anakku memandangku dan memandang wajah simboknya berganti-ganti. Nampaknya ia mencoba memahami apa yang aku katakana. Barangkali ia memang tidak dapat mengerti sepenuhnya dengan apa yang baru saja aku jelaskan itu. Tetapi paling tidak apa yang aku suka jelaskan itu entah separo atau seperempatnya pasti bisa menyangkut di dalam isi kepalany.
“Tapi panggilan simbok tetap ndesa, Pak. Kenapa to simbokku itu tidak boleh kupanggil mama?”
Istriku tersenyum pahit. Aku pun begitu.
“Di samping aku tidak tahu apa makna di balik kata mama itu, aku juga merasa lebih sreg dengan sebutan simbok karena aku lebih paham, lebih mengert makna kata itu daripada kata mama atau mami, Nak.”
“Tapi aku malu.”
Aku terdiam. Aku mencoba memahami apa yang sedang dialami oleh anakku satu-satunya itu. Pengaruh lingkungan ternyata sangat kuat sebagai penyebab perubahan dan pembentukan kejiwaan anak. Padahal aku tidak mau sebenarnya anakku ikut-ikutan gaya hidup orang lain. Bagiku sebutan mama atau mami membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Disamping aku harus mengerti apa makna dan etimologisnya, aku juga harus paham pada konsekuensi sosial dan psikologisnya bagi keluargaku sendiri.
Sejauh pengetahuanku, sebutan ini bukan berasal dari bahasa bangsaku, bangsa indonesia. Kata mama dan mami konon berasal dari daratan Eropa sana. Oleh bangsa bule hal ini dibawa sampai ke negeri-negeri jajahannya. Oleh karana penjajah itu, bangsa pribumi menjadi dan dijadikan bangsa yang inferior oleh bangsa penjajah. Sebutan-sebutan, gelar, gaya berpakaian, gaya berbahasa secara langsung maupun tidak menjadi alat untuk menjelaskan bangsa. Bangsa penjajah menempatkan dirinya sebagai bangsa yang superior. Kesuperioran ini ditunjukkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah sebutan mama, papa, papi, daddy, momy, dan mami ini.
Sebutan mama dan mami menjadi penanda bahwa keluarga yang bersangkutan adalah keluarga yang lebih super daridapa keluarga yang menyebut orang tua perempuannya dengan simbok. Dikesankan lebih berat, modern, intelek, dan mencirikan kultur kota sebagai bentuk oposisi dari kultur desa yang diwakili oleh sebutan simbok. Sebutan itu juga mengesankan bentuk kesuperioran yang lain. Entah super tingkat kekayaannya, pangkatnya, kedudukan sosialnya, intelektualitasnya, atau bahkan hanya biar disangka keluarga yang tidak ketinggalan zaman. Kini anakku sedang merasakan dampak dari semuanyaitu. Aku sangat kesulitan menjelaskan ini pada anakku.
“kalau aku tidak boleh menyebut mama pada simbok, aku tidak mau sekolah!”
Anakku mengancam. Baginya etimologi kata itu barangkali memang tidak penting. Ia hanya melihat fungsinya sekarang. Bukan pada perjalanan sejarah artinya. Kata mama, papa, mami, dan papi lebih mengesankan fungsi kultur kota modern, dan hebat. Ini yang dimaui anakku. Ia tidak mau ketinggalan zaman dengan teman-teman sekelasnya. Apa boleh buat, aku yang sangat malu disebut papa karena aku memang tidak tahu artinya terpaksa menerima kenyataan itu. Mulai detik itu aku rela disebut papa dan istriku yang biasa disebut simbok rela disebut mama demi ketrenteraman hati anak kami.



Kekeringan

Tiga bulan lalu semestinya musim hujan sudah tiba. Alih-alih hujan turun, cuaca menjadi bertambah panas dari hari ke hari. Saluran irigasi semakin menyusut airnya, bahkan sudah dua minggu belakangan hampir kering. Sukardi yang tidak memiliki sawah yang seluas petani-petani lain harus pandai-pandai mengatur strategi agar sawahnya tetap teraliri air. Saat ini, air menjadi barang mewah bagi para petani Desa Bajul Mati. Tinggal sebulan lagi masa panen tiba. Namun, justru kecemasan yang datang melanda. Akankah ia gagal panen untuk ketiga kalinya tahun ini? Tidak, itu sangat menyakitkan bagi seorang petani, apalagi petani miskin seperti Sukardi.
Dari kejauhan terlihat Mbah Tukiman sibuk mengatur aliran air di saluran irigasi.
“Saya minta bagian air sedikit, Mbah! Sudah dua hari sawah saya kering!” Spontan Sukardi berteriak melihat sosok Mbah Tukiman.
“Biar penuh dulu sawahku. Memangnya sawahmu saja yang kering!” Lelaki tua itu terlihat gusar.
“Lebih baik segera bayar utang berasmu yang kemarin. Tahun kemarin utangmu sudah kuanggap lunas karena aku kasihan sama anakmu yang mau masuk sekolah. Tapi, sekarang jangan enak-enakan. Kau harus bayar, mengerti!” lanjut Mbah Tukiman dengan nada kesal.
“bagaimana saya bisa bayar, Mbah, kalau saya tidak bisa panen gara-gara sawah saya kekeringan?!” sahut Sukardi tak kalah kesal.
“Lho…… yo ojo nyolot, Kowe! Sawahku itu luas. Kalau kekeringan, aku ruginya juga besar. Tidak bisa disbandingkan dengan sawahmu sing sak iprit kuwi.”
Sukardi segera sadar. Ia harus menahan diri. Ia tidak ingin terlibat masalah dengan Mbah Tukiman. Bisa-bisa, Bunga utangnya dinaikkan dua kali lipat. Sawah Mbah Tukiman memang berhektare-hektare. Ia tahu, tidaklah cukup mengalirkan air seharian untuk memenuhi sawah-sawah Mbah Tukiman. Ia harus bersabar sebentar untuk mendapatkan air.
Dari balik gubuknya, Sukardi melihat Mbah Tukiman mulai menjauhi saluran irigasi. Ia segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju saluran irigasi setelah memastikan bahwa Mbah Tukiman benar-benar pergi. Sukardi beraksi, ia menyumbat saluran air yang menuju sawah Mabh Tukiman, kemudian ia mengalirkan air ke sawahnya. Ah, akhirnya dapat air juga, batinnya. Sudah dua hari sawahny tak teraliri air. Keadaan ini akan bertahan setidaknya hingga sore tiba. Karena, pada sore hari biasanya Mbah Tukiman akan ngecek ulang aliran irigasinya.
“Pakde, Pakde! Cepat ke sawah, Pakde. Sawah Mbah Tukiman dibakar orang!”
Paijan datang tergopoh-gopoh menghampiri Sukardi yang sedang mengumpulkan ranting-ranting pohon untuk kayu bakar.
“Apa??! Oaalah opo maneh iki?” Sontak Sukardi berlari menuju sawah yang tak jauh dari tempat ia mencari ranting kering menyusul Paijan yang telah menghilang di balik pepohonan.
Sukardi terkejut bukan kepalang. Puluhan orang berkumpul mengelilingi sawah Mbah Tukiman dengan obor yang menyala-menyala di tangan mereka. Wajah-wajah mereka menunjukkan sikap tak bersahabat. Api berkobar menggila oleh angin senja. Secepat kilat si jago merah menyambar batang-batang padi menguning di hampir separo bagian sawah milik Mbah Tukiman.
“Biar tahu rasa dia. Seenaknya saja memonopoli air. Dia piker hanya sawahnya saja yang butuh air!” kutuk salah seorang dari mereka.
“Mentang-mentang orang kaya, suka semena-mena!!” kutuk yang lainnya
“Dasar pengecut. Dimana Tukiman? Kalau berani suruh dia lawan orang satu kampong!!” suara lain menyahut geram.
Mata Sukardi menyapu kerumunan orang-orang. Ia mengenalik sosok-sosok tubuh itu. Mereka adalah para tetangga Sukardi. Dikun, Parjo, Sujono, Lukman. Hampir orang satu kampong! Mereka kalap dan terus mengumpat-umpat. Mereka melemparkan obor dengan membabi buta ketumpukan batang padi kering di tepi sawah. Kembali api berkobar semakin besar, melahap habis padi-padi yang hampir panen.
“Tunggu! Jangan…..! jangan sawahku!” reflek Sukardi berlari mendekat tidak dapat mencegah merambatnya api dari obor yang terlempar. Api menjalar merenggut satu per satu batang padi di sawah Sukardi.
“Oalah, Gusti! Kumohon matikan apinya. Itu sawahku……!!”
Tak ada yang peduli. Tak ada yang mendengarkan. Riuh redam umpatan orang-orang itu menelan teriakan Sukardi. Ia terduduk lesu. Ia ingin menangis seperti bayi, jika tidak teringat akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus tegar menghadapi apa pun.



Mimpi Sang Bocah

Didit masih terpekur memandangi layar tv yang menyala. Sudah dua minggu bibu tidak pulang dan keadaan rumah semakin berantakan. Bapak tidak pernah mau mengerjakan pekerjaan rumah, walupun ia lebih banyak menganggur. Bapak lebih sering kelihatan bengong dari pada mengerjakan apa pun. Diditlah yang lebih banyak mengurus Lita adiknya yang berumur 3 tahun, sementara Mona adiknya yang berumur 5 tahun  asyik main sendiri entah kemana.
Mungkin Mona main ke tetangga dan merengek minta makan disana. Sudah tiga hari tidak ada makanan sama sekali di rumah. Bapak tidak memasak dan tidak berusaha mencari makanan buat mereka. Selama hampir dua minggu Diditlah yang memasak nasi dengan magic jar dengan lauk seadanya, lebih sering kerupuk atau mi instan. Bapak tidak pernah sungguh bekerja keras untuk keluarga.
Pekerjaan sebagai tukang servis elektronik dikerjakan bapak dengan asal-asalan sehingga tidak ada orang yang menjadi langganan bapak. Bapak lebih sering menipu dari pada sunguh-sunguh bekerja. Bila tidak ada uang yang masuk  ke kantongnya, Diditlah yang menjadi pelampiasan kemarahan bapak. Kata-kata makian diterima didit dengan dada yang meradang. Bapak berkali-kali mengatakan didit anak yangtidak berguna, anak yang keras kepala, sering mengusir Didit, bahkan mengatakan akan membuang Didit di jalanan.
Didit menghembuskan nafas perlahan, merasakan hangat bara di sana. Didit mengelus perutnya dan melihat jam dinding. Sudah jam dua siang. Belum sebutir makanan pun yang masuk ke perutnya. Tadi pagi ia sempat menyuapi Lita dengan sepotong pisang goring yang dikasih Mbak Wati yang mengontrak di kamar sebelah. Didit sesedang berfikir keras untuk mencari uang agar besok mereka bisa makan.
Didit ingin menelpon Ibu agar segera pulang, tapi kata bapak, Ibu sendiri tidak bisa pulang karena tidak bisa membayar biaya rumah sakit. Kapankah Ibu akan pulang? Didit sudah berniat untuk bekerja, tapi ia betul-betul tidak tahu harus bekerja apa. Lamunan Didit buyar dengan kedatangan Bapak yang tergopoh-gopoh. Terlihat jelas wajah Bapak merah padam. Didit belum sempat berpikir banyak ketika bapak meleset menarik leher kaosnya. Satu tangannya lagi terkepal, siap mendaratkan pukulan. Didit mengkeret ketakutan.
“Bisa-bisanya kamu ngemis-ngemis ke orang lain, bikin bapakmu malu dan diremehkan. Apa kamu tidak bisa mengerem perut gembulmu biar tidak bikin malu keluarga?”
“Maksud Bapak apa? Didit tidak mengemis…….”
“Bisa-bisanya kamu minta makan ke para tetangga. Lebih baik aku mati kelaparan dari pada mengemis pada mereka. Mana harga dirimu sebagai laki-laki?”
“Bapak yang ketelaluan …..,” suara Didit meninggi, kedua bola matanya basah menahan takut.
“Bisa-bisanya Bapak membiarkan anak Bapak yang masih kecil kelaparan? Mana tanggung jawab Bapak sebagai seorang yang menyebabkan anak-anak itu lahir ke dunia. Bapak yang berutang kepada kami…..” Air mata Didit mengalir deras melewati kedua pipinya yang tirus. Dadanya yang membara oleh amarah telah membuatnya sanggup untuk berbicara.
“Berani-beraninya kamu melawan Bapakmu, Durhaka kamu. Pergi kamu. Lebih baik aku tidak punya anak dari pada punya anak seperti kamu. Aku mau lihat apa kamu bisa hidup di jalanan seperti kata-katamu yang gagah itu. Paling-paling kamu hanya bisa mengemis karena kamu memang tidak punya harga diri…,” menggelengar suara Bapak.
Dengan mata memerah Bapak mengumpulkan pakaian Didit dan memasukkan ke sebuah tas. Tubuh Didit yang membungkuk didorong-dorongnya dengan kaki. Lalu Bapak melesat pergi meninggalkan rumah dengan langkah yang garang. Wajah Didit beku. Putih seperti tidak lagi dialiri darah.
Ini untuk kesekian kalinya Bapak mengusirnya. Terbayang wajah Ibu. Ibu pasti sangat khawatir jika ia meninggalkan rumah. Terbayang wajah lita dan mona yang tak berdosa. Bagaimana nasib kedua adiknya itu bila ia pergi. Mengapa ibu pergi begitu lama dan meninggalkan anak-anaknya yang terlantar? Mengapa Ibu tidak boleh pulang karena ia tidak mampu membayar biaya melahirkan? Bukankah dengan tinggal dirumah sakit, biayanya yang harus dibayar Ibu menjadi semakin banyak? Apakah Ibu akan selamanya tinggal di rumah sakit menjadi sandera?
Mengapa rumah sakit menyandera, bukan mengobati? Tahukah para pemilik rumah sakit itu bahwa ada tiga anak terancam nyawanya karena ditelantarkan. Barangkali nyawa mereka bertiga tidak sebanding dengan biaya melahirkan yang harus dibayar ibu. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Didit namun tak satu pun mampu ia jawab. Didit bertekad untuk mencari Ibu atau paling tidak meneleponnya untuk mengabarkan keadaan mereka.
 Didit ingi pergi dari rumah karena ia begitu membenci Bapak, namun tak tega melihat dua adiknya terlantar. Kebimbangan berkecemuk di hatinya, sementara rasa lapar membuat perutnya terasa terpelin. Didit meringis memegangi perutnya. Matanya meremang oleh air mata. Bagaimanapun Didit adalah seorang bocah yang baru melewati umur sepuluh tahun. Ia merasa takut, marah, sedih, kecewa, cemas, bingung, lelah, dan lapar. Segala rasa itu bercampur aduk dibenak Didit. Didit memaksakan diri untuk melangkahkan kakinya.
Matahari mulai tergelincir ke barat. Hawa panas yang tadinya menyengat kulit sudah mulai terasa sejuk. Dengan badan lemas, Didit melangkah perlahan-perlahan menuju ke jalan besar. Sebetulnya Didit tak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia hanya merasa bahwa ia memang harus berjalan. Tidak seorang pun memperhatikan kepergiannya Didit. Tetangga-tetangga kontraknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Untunglah Lita sedang tertidur di kontrakan Mbak Wati, dan Mona sedang bermain di rumah Pak De pemilik kontrakan.
Jadi, Didit merasa tenang meninggalkanya. Mudah-mudahan mereka berbaik hati memberi sedikit makanan kepada kedua adiknya itu. Didit melangkahkan kakinya menyusuri jalan sempit di antara rumah-rumah kontrakan yang diapit oleh kompleks perumahan yang dipageri tembok-tembok tinggi. Langkahnya belum jauh ketika ia merasakan sesuatu yang tajam menghujam kakinya. Didit mengarang menahan sakit, sementara darah bercucuran deras dari kakinya.
Didit terus mengaduh-aduh sambil berusaha mencabut paku empat senti yang menancap di kakinya. Rupanya sandal bututnya yang sangat tipis, tidak mampu menahan ketajaman paku. Seorang tukang bangunan yang sedang bekerja di areal itu menghampiri Didit.
“Kenapa kamu?”
 “Ketusuk paku, Bang!” kata Didit lirih sambil memang kakinya yang berdarah.
“Makanya hati-hati. Rumahmu dimana?”
“Sana Bang!” tunjuk Didit kea rah rumahnya.
“Tapi aku mau kejalan besar!”
“Jalan besar apa, kakimu ngocor begitu.”
“Aku anter situ pulang. Kaki situ mesti cepet diobatin.”
“Di rumah tidak ada obat, Bang. Orang tuaku lagi tidak di rumah.”
“Lalu selama ini yang kasih makan kamu siapa? Aku minta obat merah dulu ke sana. Tunggu sini,” kata si tukang bangunan.
Didit memegang erat telapak kakinya yang deras mengucur darah. Ia merasa tubuhnya bertambah lemas. Ketika si tukang bangunnan kembali membawa obat mera, kesadaran Didit tak lagi sempurna. Ia hanya bisa pasrah ketika si tukang bangunan memapahnya sampai rumah.
Begitulah, cerita Didit menuju ka babak akhir. Darah yang mengucur dari telapak kakinya berangsur-angsur berkurang. Namun kaki itu menjadi bengkak dan membuat tubuh Didit menjadi demam dan ia merasa tubuhnya kaku. Para tetangga yang tidak paham pada penyakit Didit hanya berusaha mengobati dengan berbagai ramuan dan jamu-jamuan yang dibeli di warung. Selama beberapa hari Didit hanya berbaring di tempat tidur.
Tubuhnya meriang dan otot perutnya terasa keras. Bapak memandangnya dengan mata sukar diartikan. Berkali-kali Bapak membanting barang-barang rumah pertanda kekesalan telah memuncak di hatinya. Sampai kondisi Didit menjadi sangat parah. Tubuhnya kejang-kejang, dan ia sulit membuka mulutnya sehingga para tetangga segera membawanya ke bidan. Namun sang bidan pu sudah angkat tangan karena kondisi Didit sudah teramat parah.
 Akhirnya, Didit pun terdampar di rumah sakit di mana Ibunya disandera. Keinginan Didit untuk bertemu Ibunya terkabul, hanya saying, sehari berada di rumah sakit dengan kondisi yang semakin kritis, nyawa Didit lepas dari raga, membawa setumpuk mimpi yang pernah ada di kepalanya. Ibunya hanya dapat memandangi kepergiannya dengan mata bengkak dan perasaan yang hancur lebur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar